Keputusan 9 Fraksi Pada 9 Oktober

* Perppu 1/2007 Jadi UU FTZ

* Era Perdagangan Bebas Dimulai di BBK

MULAI 9 Oktober 2007, kawasan Batam, Bintan, dan Karimun atau BBK resmi menjadi kawasan perdagangan dan pelabuhan bebas atau lebih akrab disebut FTZ (free trade zone) oleh masyarakat di kawasan tersebut.
Status itu disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam sidang paripurna. Mayoritas anggota DPR menyetujui pengesahan RUU tentang Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No.1/2007 tentang kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas menjadi Undang-Undang.
Setelah melewati pembahasan yang cukup singkat di Komisi VI DPR RI, yakni dari 14 September-4 Oktober dan lima kali rapat kerja dengan pemerintah, akhirnya hampir semua, 9 Fraksi di DPR (dari 10 fraksi) , pada 9 Oktober 2007, setuju perdagangan bebas di BBK. Kecuali Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang menilai, FTZ BBK tak cukup kuat jika hanya dijalankan berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP). Dan PDIP bisa betul, karena jika hanya dengan Perppu, lebih mudah diganti bila rezim pemerintahan nasional berganti.
Lagipula, jika dicermati, dengan disahkannya Perppu 1/2007, maka ada disharmoni peraturan dengan UU 32/2004 tentang otonomi khusus dan UU 25/2007 tentang Penanaman Modal. Dalam UU Penanaman Modal dinyatakan, pembentukan FTZ harus melalui UU.
Tapi untuk sementara, sudah saatnya kita berhenti berdebat mengenai apakah harus UU atau cukup dengan Perppu yang menurunkan PP 46, 47, dan 48 yang masing-masing mengatur FTZ di Batam, Bintan, dan Karimun.
Sudah saatnya perdebatan kita beralih ke bagaimana mekanisme menjalankan amanat UU FTZ agar perdagangan bebas di BBK bisa jalan sebagaimana yang diharapkan, yakni peningkatan investasi yang pada gilirannya mampu menyerap banyak tenaga kerja.
Hal penting yang harus segera dibenahi dalam era perdagangan bebas ini, khususnya di Batam, yakni bagaimana mengatur mekanisme kerja sama yang harmonis antara Badan Otorita Batam (BOB) dan Pemerintah Kota (Pemko) Batam. Supaya kedua lembaga pemerintahan ini bisa berjalan sinergis, selaras, guna kenyamanan berusaha.
Kemudian, pemerintah pusat juga musti membuat ketegasan di kawasan perdagangan bebas. Jangan sampai membuat para petugas seperti Bea Cukai bertindak over acting terhadap masyarakat yang keluar dari Batam. Sebab, tugas BC akan lebih diarahkan untuk mengawasi barang keluar Batam, bukan barang masuk. Nah, orang yang berbelanja di Batam nantinya, bakal berhadapan dengan petugas BC di pintu2 keluar. Ini berpotensi korupsi, kongkalikong, dan serupa dengan itu.
Tak hanya itu, mereka (petugas BC) bisa overacting dengan menahan apa saja yang dibawa keluar dari Batam, meski itu hanya sebuah oleh2 kecil. Atau bahkan barang milik orang itu sendiri pun (maksudnya yang dibawa dari daerah asalnya ketika ke Batam), bisa-bisa disita oleh petugas BC. Ini hanya satu contoh kecil.
Sehingga menurut saya, perlu penjelasan secara rinci dan jelas (tidak berbelit dan membingungkan) bagi bagi masyarakat mengenai apa dan bagaimana FTZ itu. Apa yang harus dilakukan dan tidak boleh dilakukan masyarakat (dalam kaitannya dengan masuk keluar barang di kawasan FTZ) di dalam kawasan perdagangan bebas. Aturan itu musti ditempel di pintu-pintu masuk-keluar supaya bisa dipahami dengan mudah oleh masyarakat. Supaya mereka tidak menjadi objek permainan oknum-oknum petugas negara…..

2 pemikiran pada “Keputusan 9 Fraksi Pada 9 Oktober

  1. Hi..
    Yup, i think so.
    Gw skrg pun masih bingung, ttp setahu gw kan cuma brg elekronik aja kan yg gak boleh selain tu kan ok..except drugs etc…
    Bisa diperjelas lg…if i’m wrong.

    Thanks,
    Carol

    Suka

Tinggalkan komentar